Globalisasi Ekonomi dan Demokrasi Indonesia
Ditinjau dari sejarah, apa yang sekarang disebut globalisasi pada dasarnya bermula dari awal abad ke-20, yakni di saat revolusi transportasi dan elektronika mulai memperluas dan mempercepat perdagangan antarbangsa. Di samping perluasan dan percepatan lalu-lintas barang-jasa tanpa ada halangan ruang dan waktu, berkembang pula globalisasi gagasan-gagasan modern seperti negara, kontitusi, nasionalisme, sosialisme-marxisme, islamisme, perusahaan dan industri media massa.
Yang dewasa ini terasa adalah perbedaan dalam cakupan, laju kecepatan dan daya jangkau dari proses globalisasi. Revolusi informasi dan telekomunikasi telah menonjolkan ke muka pentingnya informasi dan jasa sebagai unsur-unsur tambahan dalam menunjang factor-faktor ekonomi konvensional seperti tanah, modal serta tenaga kerja.
Kutub Ekonomi Dunia
Di bidang ekonomi internasional, negara-negara kuat seperti Amerika Serikat, China Jerman dan Jepang adalah empat kutub utama ekonomi dunia. Sekitar 70% dari sumber ilmu dan pengetahuan, keterampilan permodalan dan pengelolaan kebuutuhan pokok manusia seperti halnya pangan, energi, transportasi dan pemasaran dikuasai oleh perusahaan, negara China atau negara Amerika Utara (AS, Kanada, Meksiko), Masyarakat Ekonomi Eropa (dibawah pimpinan Jerman) serta Jepang. Di bidang penelitian dan pengembangan, keempat kutub ekonomi dunia itu menghasilkan lebih dari 76% penelitian dasar serta sekitar 65% penelitian terapan. Kalangan elit strategi seperti manajer, akuntan, ahli hukum, insinyur, ahli Komputer, kalangan professional tingkat tinggi maupun menengah menguasai bank data, system pengolahan dan penyimpanan data ilmu dan pengetahuan.
Ruang gerak, pilihan arah dan kecepatan pembangunan bangsa-bangsa sedang berkembang seringkali lebih banyak ditentukan oleh tersedia atau tidaknya faktor-faktor seperti dana, investasi, ahli teknologi dan ahli pengetahuan. Semua ini, sebagaimana diketahui, adalah faktor-faktor yang di”hibah”-kan atau di”pinjam”-kan Negara-negara maju kepada Negara bangsa-bangsa sedang berkembang. Atas dasar itu, muncul ungkapan-ungkapan seperti “dunia tanpa tapal batas” (Keinichi Ohmae dalam Sudarsono, 192), “keunggulan kompetitif” (Michael Porter dalam Sudarsono, 192), dan “kekuatan ko-optasi” (Joseph Nye dalam Sudarsono, 192). Pada intinya dalam ekonomi global seperti sekarang ini, faktor-faktor lintas-benua seperti teknologi, pendidikan, dan manajemen makin mengakibatkan kelipatan pentingnya jasa dan informasi sebagai penggerak ekonomi dunia.
Problematika bagi negara-negara sedang berkembang bukanlah persoalan mau atau tidak “keluar dari sistem” yang sudah ada, karena hampir semua negara saat ini terkait langsung oleh permainan deras dank eras dari globalisasi ekonomi. Pertanyaan pokok bagi kita adalah: “Maukah negara-negara sedang berkembang tersebut sebagai pelaku sub-sistem dari segi empat emas Amerika-China-Jerman-Jepang?” Ataukah, apakah kita harus berikhtiar agar dalam keadaan terbelakang bagaimanapun kita bertekad menjadi pelaku aktif untuk ikut serta menentukan syarat-syarat hidup kita dalam ekonomi global tersebut.
Globalisasi dan Demokrasi
Globalisasi ekonomi yang syarat-syarat “permainannya”-nya ditentukan kutub segi empat, memiliki dua makna. Pada satu sisi, ia mencerminkan berfungsinya “logika pasar” untuk berproduksi secara efektif dan efisien bagi mereka yang memiliki modal kuat. Sedangkan di sisi lain, globalisasi membangkitkan reaksi balik (nasionalisme, fundamentalisme, gerakan kebangkitan kesukuan/kedaerahan) karena interaksi antar tata-niaga ekonomi global mengandung dampak budaya dengan akibat untung-rugi yang berbeda-beda.
Komentar
Posting Komentar